Dalam rangka mewujudkan visi Pendidikan Indonesia mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meluncurkan Program Merdeka Belajar episode ke-7 yakni Sekolah Penggerak pada tanggal 1 Februari 2021.
Program Sekolah Penggerak (PSP) sendiri berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik yang mencakup kompetensi (literasi dan numerasi) dan karakter, diawali dengan SDM yang unggul (kepala sekolah dan guru).
Program Sekolah Penggerak merupakan penyempurnaan program transformasi sekolah sebelumnya. Program Sekolah Penggerak akan mengakselerasi sekolah negeri/swasta di seluruh kondisi sekolah untuk bergerak 1-2 tahap lebih maju. Program dilakukan bertahap dan terintegrasi dengan ekosistem hingga seluruh sekolah di Indonesia menjadi Program Sekolah Penggerak.
Seperti yang dikutip dari laman podcast Ditjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen (18/03/22). Dra. Metrin Evivi, M.Pd., Kepala Sekolah SMP Negeri 41 Jakarta, bercerita saat ia mengimplementasikan Program Sekolah Penggerak di sekolahnya. SMP Negeri 41 Jakarta terpilih menjadi Sekolah Penggerak pada April 2021 dan melaksanakannya pada Bulan Juli di tahun ajaran baru 2021- 2022.
“Jadi semenjak ditetapkan menjadi sekolah penggerak pertama adalah Kepala Sekolahnya dulu, jika Kepala Sekolahnya lulus maka sekolahnya akan menjadi sekolah penggerak. Alhamdulillah setelah ditetapkan kami langsung melaksanakan implementasi,” kata Metrin membagi pengalamannya saat mengimplementasikan PSP di podcast Ditjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen.
Metrin menjelaskan implementasi yang dilakukan pertama-tama adalah melakukan perencanaan, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan, setelah itu evaluasi. Untuk perencanaan pertama kali adalah guru-guru melaksanakan In House Training (IHT) dari instruktur Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan atau disingkat P4TK, Bandung. Lalu kemudian, setelah melakukan perencanaan IHT dan pelaksanaannya, selanjutnya adalah membentuk tim Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP).
“Jadi tim ini diadakan oleh Kepala Sekolah terdiri dari komite pembelajaran, dan komite sekolah. Nah komite pembelajaran ini adalah pengawas, kepala sekolah, dan guru, lalu KOSP. Ini digunakan sebagai petunjuk dan arah bagaimana melaksanakan kurikulum di sekolah,” tutur Metrin menjelaskan.
Kurikulum yang digunakan di sekolahnya, lanjut Metrin ia menggunakan dua kurikulum sekaligus, yaitu kurikulum sekolah penggerak dan kurikulum 2013. Hal tersebut karena kelas tujuh SMPN 41 Jakarta menggunakan kurikulum sekolah penggerak, sementara untuk kelas 8 dan 9 adalah kurikulum 2013 di masa Covid-19 atau yang disebut dengan kurikulum darurat. Setelah itu timnya kemudian membentuk tim asesmen.
“Nah asesmen ini nanti ada diagnostik sumatif dan formatif lalu kemudian pada perencanaan juga membentuk tim untuk kegiatan proyek Profil Pelajar Pancasila, dimana disitu nanti ada pembimbingnya. Tema yang dipilih adalah dimensi Profil Pelajar Pancasila asesmennya nanti kita melaporkan hasil dari kegiatan proyek-proyek Profile Pelajar. Proyek ini bertujuan untuk penguatan karakter yang menampilkan Profil Pelajar Pancasila,” katanya.
Dalam implementasi Program Sekolah Penggerak, para guru juga diarahkan untuk membuat modul ajar, merancang pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, kemudian merancang praktik pembelajaran untuk melihat karakteristik peserta didik.
“Kemudian implementasi materi ajar untuk peserta didik kami membuat dalam bentuk audio, visual, dan kinestetik yaitu dengan gerak. Jadi guru-guru harus bisa merancang pembelajaran dimana ketiga gaya belajar ini bisa terakomodir. Selain itu guru-guru juga harus merancang asesmen yang sesuai dengan karakteristik siswa dan juga pencapaiannya,” imbuh Metrin.
Kemudian dalam pelaksanaan ini juga Metrin mengatakan terkait asesmen dirinya harus melaksanakan asesmen diagnostik, yang terdiri kognitif yaitu berupa kompetensi mata pelajaran, dan non kognitif yaitu dimana meminta guru bimbingan dan konseling (BK) untuk membuat asesmen sendiri.
Selanjutnya ada asesmen formatif dimana guru melaksanakan penilaian harian setelah guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam bentuk soal atau kandungan kuis. Hal tersebut dilakukan kata Metrin agar guru tahu kemampuan daya serap siswa nya pada materi yang mereka berikan.
“Jika nanti misalkan ada siswa yang kurang paham atau kurang tumbuh kemampuan daya serapnya maka guru pun bisa menanganinya,” ujar Metrin.
Selain itu kata Metrin, tim yang sudah ia bentuk pun akan melaksanakan tugasnya yaitu melakukan sosialisasi kepada orang tua dan murid terkait materi ajar dalam proyek yang sudah dipersiapkan. Setiap guru nanti akan menjadi pembimbing dan mendampingi siswanya mulai dari anak-anak merencanakan proyek, melihat proses hingga hasil akhir.
“Di asesmen ini sudah ada juri, jadi pembimbing dan juri ini bersama-sama melihat proyek yang dilakukan oleh para siswa. Kemudian juga nanti pada asesmen dinilai terkait produk dari proyek Profile Pelajar Pancasila dalam bentuk berupa foto, stiker, video tampilan anak-anak, atau produk,” tuturnya menjelaskan.
Metrin juga mengatakan dengan mengimplementasikan pembelajaran dalam bentuk kegiatan berbasis proyek dengan tema yang diambil dari Profil Pelajar Pancasila, akan menghasilkan dampak terhadap tumbuhnya karakter Profil Pelajar Pancasila pada anak menjadi semakin lebih nyata.
“Kami sudah melihat hasilnya karena dari awal pelaksanaan proyek anak-anak sudah melakukan perencanaan, menikmati prosesnya, anak-anak antusias, tumbuh jiwa kreatif dan kompetitif pada peserta didik. Jadi intinya dengan kegiatan proyek Profil Pancasila ini kami melihat anak-anak bisa menjadi kuat karakternya,” kata Kepala Sekolah SMPN 41 tersebut.
Sebagai sosok yang terpilih menjadi kepala sekolah penggerak, Metrin menyampaikan hal yang harus dia lakukan selain mengimplementasikan kurikulum Sekolah Penggerak juga harus menyiapkan guru-guru yang unggul, memiliki kompetensi profesional yang baik, memiliki kompetensi pedagogik yang baik, memiliki kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial yang juga baik.
“Nah jadi kalau saya memilih guru dengan kompetensi profesional artinya guru yang tidak gagap teknologi (gaptek) alias dia harus melek IT agar nanti bisa menyajikan pembelajaran, merancang pembelajaran dengan menggunakan sistem yang sesuai kekinian, karena kan anak-anak sekarang adalah anak-anak generasi digital,” imbuh Metrin.
Sebagai pemimpin Metrin juga tidak lupa selalu mengapresiasi guru-guru yang memiliki kompetensi baik. Karena Metrin menilai guru yang mempunyai kompetensi sosial adalah sumber daya manusia yang baik.
“Karena guru itu digugu dan ditiru ya dari bicaranya, perkataannya, perbuatannya harus diperhatikan karena akan ditiru dan menjadi contoh bagi anak-anak,” ujarnya.
Bagi Sobat Belajar yang sekolahnya terpilih sebagai sekolah penggerak bisa mengikuti praktik baik Implementasi PSP di SMPN 41 Jakarta, seperti yang sudah dijelaskan oleh Ibu Metrin.
Untuk penjelasan yang lebih lengkap, Sobat Belajar dapat menonton video terkait di Podcast Ditjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen melalui kanal YouTube Ditjen PAUD, Dikdasmen, atau dengan klik tautan berikut: