[caption id="attachment_6607" align="aligncenter" width="300"] Sebagian Pengurus Dewan Pendidikan saat mengikuti kegiatan Workshop yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar[/caption]
Jakarta (Dikdas): Simposium Pendidikan Nasional yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP), yang berakhir pada Rabu, 25 Februari 2015, juga mendiskusikan keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (DPKS).
Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. Sementara Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
Peran Dewan Pendidikan dapat diketahui dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 56, Ayat (2) bahwa Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
Sementara peran Komite Sekolah, terdapat pada Ayat (3), bahwa Komite Sekolah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Penjelasan mengenai Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ini, juga dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dan/atau Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Terakit dengan Dewan Pendidikan dan Komite sekolah ini, salah satu hal yang disorot dalam Simposium Pendidikan Nasional adalah sebagian besar proses pembentukan dan pemilihan pengurus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah belum demokratis, transparan, dan akuntabel. Misalnya, dalam proses pemilihan Komite Sekolah, yang banyak terjadi adalah model penunjukan langsung oleh Kepala Sekolah. Kalau pun menggunakan model pemilihan formatur, pada akhirnya penentuannya adalah kepala sekolah juga.
Hal yang sama juga terjadi pada Dewan Pendidikan, di mana ketertutupan menjadi ciri pembentukan Dewan Pendidikan. Mulai proses penjaringan calon, pemilihan, hingga penetapan.
Melihat hal di atas, Drs. Suparlan, M. Ed., salah satu peserta Simposium Pendidikan Nasional pada Kelompok Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, mengakui bahwa masih banyak yang salah dalam menafsirkan mekanisme pemilihan sehingga terkesan tidak demokratis, transparan dan akuntabel.
“Beberapa di antaranya memang terjadi penyalahtafiran terhadap ketentuan yang berlaku,” ujar Suparlan, di Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kemdikbud, Rabu 25 Februari 2015.
Suparlan memberikan beberapa contoh. Pertama, berdasarkan Pasal 197 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, pengurus Komite Sekolah terdiri atas tiga unsur, yakni: 1) orangtua/wali peserta didik (50%); 2) tokoh masyarakat (30%); dan 3) pakar pendidikan (30%). Namun dalam kenyataan, pakar pendidikan hanya diisi oleh guru, yang daya tawarnya rendah, karena merupakan anak buah kepala sekolah.
“Karena itu, ketentuan tentang unsur pengurus Komite Sekolah dapat ditambahkan dengan penekanan tokoh pendidikan bukan guru di sekolah yang bersangkutan,” tegas Suparlan, yang merupakan Konsultan pada Kegiatan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Yang Terbina, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kemdikbud..
Kedua, berdasarkan Pasal 197 Ayat (5) disebutkan bahwa Anggota Komite Sekolah dipilih oleh rapat orangtua/wali peserta didik satuan pendidikan. Bahkan dalam Ayat (6) dinyatakan bahwa ketua komite dan sekretaris sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) dipilih dari dan oleh anggota secara musyawarah atau melalui pemungutan suara. Namun dalam kenyataan di lapangan, ada Komite Sekolah yang akhirnya dipilih atau ditentukan oleh Kepala Sekolah.
“Jika terjadi seperti itu, warga sekolah dan masyarakat peduli pendidikan dapat mengadukan penyimpangan tersebut kepada Dinas dan atau Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar,” tambah Suparlan.
Sementara itu, mengenai Komite Sekolah yang terkesan menjadi “tukang stempel”, Suparlan mengatakan bahwa hal itu berawal dari penafsiran yang salah terhadap Pasal 197 Ayat (7) yang menyatakan bahwa anggota, sekretaris, dan ketua Komite Sekolah ditetapkan oleh Kepala Sekolah. Menurut Suparlan, ketentuan ini sebenarnya bukan berarti kepala sekolah memiliki hirarki yang lebih tinggi dari Komite Sekolah.
Mengenai usulan agar SK Komite Sekolah tidak diterbitkan oleh Kepala Sekolah, namun oleh Kepala Dinas Pendidikan, atau UPTD Pendidikan, dan atau Dewan Pendidikan, Suparlan tetap menolak. Karena menurutnya tidak akan merubah keadaan. Komite Sekolah akan tetap menjadi “tukang stempel”. Suparlan menyarankan agar ada perubahan di tingkat regulasi yang mengatur tentang mekanisme pemilihan dan penetapan Komite Sekolah. Dalam perubahan regulasi itu, SK Komite Sekolah bisa ditentukan dalam AD/ART, misalnya melalui Akta Notaris.
Usulan Suparlan itu senada dengan hasil rekomendasi kebijkan dari Simposium Pendidikan Nasional, Kelompok Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yang menyatakan bahwa harus ada perbaikan regulasi terkait proses rekruitmen kepengurusan, pembagian kewenangan, kewenangan pengangkatan atau penetapan, komposisi atau unsur kepengurusan, dan mekanisme akuntabilitas kinerja. Hasil rekomendasi ini, rencananya akan disampaikan KMSTP dalam bentuk Policy Paper untuk dikaji oleh Mendikbud.
Sementara itu, mengenai salah tafsir peraturan yang terjadi pada Dewan Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, Suparlan mengatakan bahwa selain harus ada perubahan regulasi, juga perlu ada sosialisasi.
“Terhadap kejadian-kejadian itu, kebijakan yang juga dapat dilakukan adalah sosialisasi berkelanjutan. Bukan sosialisasi setengah hati,” tegas Suparlan.
M. Adib Minanurohim