[caption id="attachment_6601" align="aligncenter" width="300"] Sri Renani Pantjastuti[/caption]
Jakarta (Dikdas): Dalam pendidikan inklusi, diperlukan guru khusus yang berkualifikasi menangani pendidikan khusus di sekolah reguler yang diampunya. Masalahnya, hingga kini, belum ada nomenklatur untuk guru pendidikan khusus di sekolah reguler.
Sri Renani Patjastuti, Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, mengatakan persoalan tersebut telah disampaikan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. “Sambil menunggu, kita melakukan peningkatan guru yang ada di sekolah reguler,” ujarnya saat diskusi dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi Pendidikan (KMSTP) di Gedung Ki Hadjar Dewantara lantai 2, Kompleks Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Selasa, 24 Februari 2015. Diskusi tersebut merupakan bagian dari Simposium Pendidikan Nasional yang digelar dua hari, 24-25 Februari 2015.Peningkatan tenaga pendidik, tambahnya, dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada mereka dengan melibatkan sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia dan Universitas Negeri Surabaya. Pelatihan ditujukan untuk memberi kompetensi tambahan ihwal pendidikan khusus selama satu tahun.
Renani senang upaya ini mendapat sambutan hangat dari sejumlah kepala daerah. “Sekarang sudah mulai banyak provinsi yang mendanai pelatihan tersebut,” jelasnya.
Selain guru inklusi, Renani juga mengungkap pendidikan bagi anak-anak di lembaga pemasyarakatan (lapas). Minggu lalu, katanya, ia menemui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia guna memperbarui Matter of Understanding tentang pendidikan anak-anak di lapas. Hingga kini, Kemendikbud menjalin kerja sama dengan 20 lapas melalui Kemenkumham.
“Kita berharap anak-anak yang mengikuti pendidikan di lapas tidak lagi melakukan tindakan kriminal,” ucapnya.
Renani menyatakan keprihatinannya kepada sebagian masyarakat yang masih menganggap pendidikan bukan hal penting, terutama anggota masyarakat yang punya anak berkebutuhan khusus. Ia pun terus mendorong agar Sekolah Luar Biasa hadir di tiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia. “Masih ada 94 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB,” ujarnya.
Namun Renani cukup bangga melihat peserta pendidikan inklusi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jumlah pelaksana sekolah inklusi pun terus bertambah. Ia kemudian mengajak KMSTP untuk bahu-membahu melakukan kampanye sosial agar anak berkebutuhan khusus dapat terpenuhi haknya dalam mengenyam pendidikan.* (Billy Antoro)