Jakarta, Kemdikbud --- Selain harus berperan sebagai guru, Titah Putri Firdausi juga harus berjuang menghindari kontak senjata.Setahun bertugas sebagai seorang guru di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) menjadi pengalaman menantang hidup yang tak akan terlupakan. Apalagi jika daerah tersebut adalah daerah konflik atau yang disebut zona merah. Tugas sebagai guru menjadi kian berat.
Sejak terpilih menjadi seorang guru melalui payung program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI), guru muda yang akrab dipanggil Titah ini mengabdikan diri untuk menjadi sarjana mengajar di SMPN 2 Asologaima, Kabupaten Jaya Wijaya, Papua. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Lanny Jaya yang belakangan terjadi konflik dan adu senjata yang cukup intens.
Selama bertugas di wilayah tersebut, guru yang ikut SM3T dari Universitas Mulawarman ini tinggal di sekolah. Setiap hari ia selalu duluan hadir di kelas dan menunggu anak didiknya datang. Biasanya, kelas baru dimulai jika anak-anak yang rumahnya berada di balik bukit tersebut sudah berkumpul di sekolah. “Soalnya kelas itu mulainya ikut jamnya anak-anak,” kata Titah saat mengikuti silaturahim SM3T dengan Wapres Boediono di Jakarta, minggu lalu.
Anak-anak didik Titah bermukim di wilayah yang cukup jauh dari sekolah, kebanyakan dari balik bukit berkilo-kilo meter jauhnya. Untuk mulai jalan ke sekolah, mereka menggunakan matahari sebagai penanda. Anak-anak ini baru akan berangkat ke sekolah apabila matahari sudah muncul. “Kalau kebetulan pagi itu mendung, mereka baru ke sekolah pukul sembilan atau pukul sepuluh,” tuturnya.
Sekolah tempatnya bertugas dikelilingi oleh perbukitan, sama halnya dengan kondisi alam di Wamena pada umumnya. Dengan suhu yang relatif rendah, 10-12 derajat celcius, kadang disertai angin yang cukup kencang, Titah menunggu kehadiran anak-anak didik kesayangannya. Di sekolah tersebut ada 300 anak yang tercatat sebagai siswa. Namun kenyataannya, yang pernah masuk ke sekolah hanya 20 anak untuk setiap kelas. “Itu sudah lumayan banyak, karena per angkatan hanya ada satu rombongan belajar, ditambah kelas percobaan,” ucap lulusan Universitas Negeri Malang (UM) ini. Meski lulusan UM, Titah mengikuti SM3T dari Universitas Mulawarman (Unmul) di Samarinda, Kalimantan Timur.
Kelas percobaan merupakan kelas khusus untuk anak-anak yang belum bisa membaca. Jika pada umumnya peserta didik sudah bisa membaca ketika belajar di sekolah dasar, maka kondisi tersebut tidak terjadi disini. Untuk jenjang SMP pun, banyak di antara mereka yang belum bisa baca, tulis dan berhitung. Titah dan temannya sesama guru SM3T harus memulai tugasnya dari kelas percobaan ini. Jika sudah ada kemajuan dan mereka sudah mulai bisa membaca, baru kelas reguler dilaksanakan.
Tantangan menjadi guru tidak selalu tentang mendidik di dalam kelas. Di zona merah seperti ini, dimana masyarakat cenderung lebih suka terlibat dalam konflik daripada mendorong anaknya untuk bersekolah, edukasi juga dilakukan kepada orang tua. Bagaimana mereka didekati dan memunculkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan bagi putra putrinya. Titah mengaku, dalam melakukan pendekatan ini ia sering terjun ke sawah dan kebun untuk menyapa dan ngobrol dengan orang tua. Ia pun harus belajar keras untuk menggunakan logat penduduk setempat supaya bisa ‘nyambung’ dengan mereka. “Kesadaran mereka tentang pendidikan masih kurang sekali. Kehidupan primitif disana lebih mengutamakan berkebun daripada sekolah,” katanya.
Untuk urusan seragam, anak didik Titah tidaklah berpakaian lengkap. Mereka hanya seadanya. Ada yang cuma kancing di atas, ada yang cuma di bawah. Ada yang tidak ada lagi risletingnya. “Dengan kondisi seperti itu saya harus mengajarkannya kerapian dan kebersihan kepada mereka,” tuturnya.
Dan yang paling membahagiakan bagi Titah adalah ketika anak-anak didiknya ini berhasil lulus ujian. Tak hanya ia, anak-anak ini pun akan menangis terharu di pelukannya karena mereka memiliki guru yang mendidik dan mendorong mereka sehingga mereka memiliki kemampuan untuk melewati ujian tersebut dengan baik. “Mereka sangat bahagia dan berterima kasih kasih kepada guru-gurunya, karena bisa lulus dengan usaha sendiri. Bukan dengan kata, melainkan dengan tangis dan pelukan, dan itu benar-benar mengharukan,” kata Titah sambil menghapus air mata di pelupuk matanya. (Aline Rogeleonick)
Testimoni SM3T Mon, 09/22/2014 - 14:12 Repro: kemdikbud.go.id