Jakarta (Dikdasmen): Gerakan literasi bukan sekadar gerakan membaca. Tetapi membaca untuk memahami serta mengkritisi dan memberikan pendapat lain dari apa yang telah dibaca. Demikian goresan tinta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, saat diminta menuliskan pesan untuk anak Indonesia.
Goresan tinta Mendikbud di atas berangkat dari arahan yang ia sampaikan pada saat Pembukaan FLS Tahun 2019, di Plaza Insan Berprestasi, Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Jumat, 26 Juli 2019.
Pada mulanya, Mendikbud mengakui bahwa dari sisi keterampilan membaca, masyarakat Indonesia sudah termasuk masyarakat yang terampil membaca. Tapi Mendikbud menengarai bahwa masyarakat Indonesia kurang memahami makna dari kegiatan membaca.
“Padahal paling utama itu adalah nalar kita menjadi berjalan dengan baik, karena dapat menemukan hubungan kausalitas terhadap apa saja yang kita pahami dari kegiatan membaca itu,” ujarnya.
Menurut mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini, makna membaca tidak boleh dipersempit sekadar membaca huruf. Karena menurutnya, huruf hanya petanda. “Akibat dari sekadar membaca huruf ini, kita tidak akan pernah memahami apa yang berada di balik huruf tersebut,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, Mendikbud menyitir kisah awal mula Nabi Muhammad S.A.W. memperoleh wahyu pertama, yaitu Al Qur’an Surah Al Alaq Ayat 1-5. Ketika Nabi diminta untuk membaca, beliau tidak bisa karena tak dapat membaca dan menulis. Namun kenapa wahyu pertama yang beliau terima adalah perintah membaca?
“Artinya, membaca itu tidak berarti membaca huruf, membaca fenomena alam itu juga membaca. Huruf itu hanya salah satu bikinan manusia, berupa kode agar kita bisa memahami sesuatu,” jelas Mendikbud.
Di jagat raya ini, tambah Mendikbud, penuh dengan petanda-petanda yang harus dipahami maknanya. Salah satu cara memahami itu dengan menemukan hubungan antara satu petanda dengan petanda lainnya. “Dan kemudian menentukan akibat dari hubungan kausalitas semua itu. Inilah hakikat dari membaca,” pungkasnya.*
M. Adib Minanurokhim