Jakarta (Dikdasmen): Pada acara pembukaan FLS III yang diselenggarakan di Plaza Insan Berprestasi, Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, nampak ingin mendorong upaya mentradisikan nalar kritis kepada para pegiat literasi, dan khususnya para guru dan siswa-siswi di Indonesia.
Mulanya, Mendikbud menukil kisah buku klasik yang di sebagian halamannya menyisakan halaman kosong.
“Maksudnya apa? agar yang kosong itu dapat dijadikan kritik bagi yang membaca. Agar para pembaca memiiki catatan dari hasil bacaanya. Itu yang disebut komentar,” kata Mendikbud, Jumat, 26 Juli 2019.
Selanjutnya, Mendikbud bercerita tentang Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang biasanya terletak di bagian belakang Majalah Mingguan Tempo. Menurut Mendikbud, rubrik yang diampu pendiri Tempo tersebut merupakan buah kontemplasi yang dilakukan usai kegiatan membaca.
“Sebelum memberikan catatan pinggir, pasti ia membaca buku atau membaca apa, dan kemudian berkontemplasi, lalu menyampaikan pemikiran baru berdasarkan apa yang ia baca,” jelasnya.
Selain dua hal di atas, pada Jumat pagi itu, Mendikbud juga berkisah tentang tradisi pemikiran kritis.
“Orang yang mengembangkan pemikiran dari penulis buku, biasanya disebut sebagai pengikut dari si penulis buku itu. Kalau kita mengenal Karl Marx dengan bukunya Das Kapital, itu melahirkan Marxian, yaitu orang yang memahami tulisan/pemikiran Karl Marx, namun para Marxian ini menghasilkan pemikiran yang baru,” ujarnya.
Selain Karl Marx, Mendikbud juga menukil kisah Maximilian Weber, yaitu seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Menurutnya, para Weberian, merupakan orang-orang yang memahmi pemikiran Maximilian Weber namun dengan pemikiran baru.
“Nah kalau dalam tradisi (baca; pemikiran) Islam itu ada pengikut Syafi’iyyah, yaitu orang yang memahami pemikiran Imam Syafi’i melalui Kitab al Umm, dan kemudian menerbitkan buku baru yang isinya bisa saja berbeda dengan pemikiran Imam Syafi’i, meski sebetulnya bersumber dari pemikiran Imam Syafi’i,” ujar Mendikbud.
“Nah tradisi seperti inilah yang harus dikembangkan di sekolah-sekolah kita. Anak-anak kita setelah membaca, jangan kemudian dibiarkan saja. Namun harus diberi tugas agar mereka terampil untuk memahami apa yang dia baca. Semua guru harus meminta anak didiknya untuk melakukan refleksi dan atau catatan balik tentang apa yang dia pahami,” tegas Mendikbud.*
M. Adib Minanurokhim