[caption id="attachment_6028" align="aligncenter" width="300"] Dirjen Dikdas Hamid Muhammad[/caption]
Jakarta (Dikdas): Mulai 1 Desember 2014, seluruh sekolah berlabel internasional di Indonesia harus mengganti nama menjadi Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK). Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia. (lihat Permendikbud No. 31 Tahun 2014)
Permendikbud yang ditetapkan pada 23 April 2014 itu mengatur, di antaranya, pola kerja sama, mekanisme pendirian, dan pemenuhan syarat bagi tenaga pendidik dan kependidikan pada SPK. Regulasi SPK terkait pendidikan dasar kemudian diatur lebih detail dalam Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Nomor 105/C/Kep/LN/2014 tentang Petunjuk Teknis Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan Dasar oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia. (lihat Peraturan Dirjen Dikdas 105/C/Kep/LN/2014)
Berdasarkan Permendikbud itu, penyesuaian sekolah internasional menjadi SPK dilakukan paling lambat 1 Desember 2014. Jika pemenuhan persyaratan pembentukan SPK tidak terpenuhi hingga tenggat yang telah ditentukan, sekolah tersebut harus diubah menjadi sekolah nasional atau ditutup.
Hingga 2 Desember 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerbitkan 174 surat izin SPK untuk sekolah yang sebelumnya berstatus sekolah internasional (91 SD dan 83 SMP). (lihat Daftar Satuan Pendidikan Kerja Sama)
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut juga mengatur sekolah yang menamakan dirinya Nasional Plus, di mana sekolah tersebut juga harus memilih menjadi SPK atau Sekolah Nasional. Hingga 2 Desember 2014, sudah 19 Sekolah Nasional Plus yang telah mengubah statusnya menjadi SPK.
Pengaturan sekolah internasional menjadi SPK, sebagaimana tercantum dalam ihwal Permendikbud No. 31 Tahun 2014, diejawantahkan dalam dua hal, yaitu penyelenggaraan dan pengelolaan. Pasal 2 Peraturan tersebut menyebutkan bahwa kerja sama penyelenggaraan atau pengelolaan pendidikan dilaksanakan pada jalur formal dan informal.
Pendidikan jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal, Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, Madrasah Aliyah Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pendidikan jalur nonformal dapat berbentuk lembaga kursus dan lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, pondok pesantren, pendidikan diniyah, taman pendidikan Al-Qur’an, pendidikan anak usia dini jalur nonformal, dan satuan pendidikan sejenis lain.
Menurut Hamid Muhammad, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, salah satu tujuan pengalihan status sekolah internasional menjadi SPK adalah untuk meningkatkan rasa nasionalisme pada diri siswa. Selain itu, dengan adanya kebijakan ini, sekolah-sekolah berlabel internasional dapat ditertibkan agar tidak dikelola dan dikuasai asing. “Pemerintah berkomitmen untuk menanamkan pendidikan karakter di semua satuan pendidikan di negeri ini. Salah satunya dengan menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan siswa melalui materi pelajaran yang diberikan,” katanya.
Peningkatan rasa nasionalisme terejawantah dalam sejumlah persyaratan yang harus ditaati SPK, di antaranya terkait dengan penerimaan peserta didik, pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan, dan penerapan kurikulum. Ketiga hal tersebut menjadi persyaratan yang inheren dalam Permendikbud No. 31 Tahun 2014.
Terkait penerimaan peserta didik, sebagaimana amanat pasal 8, SPK dilarang menolak calon siswa berkewarganegaraan Indonesia. Sekolah pun wajib mengurus kepemilikan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) yang menjadi hak siswa.
Jika selama ini siswa WNI yang menimba ilmu di sekolah internasional tidak mendapat mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Bahasa Indonesia, dan Agama, kini mereka berhak mendapatkan tiga mata pelajaran pokok itu. SPK wajib menyediakan pendidik dan fasilitas yang menunjang keberlangsungannya.
Ihwal pendidik dan tenaga kependidikan, regulasi ini mengatur lebih detail dari sisi kuantitas. Disebutkan, komposisi jumlah pendidik WNI minimal 30% dari keseluruhan jumlah pendidik pada satuan pendidikan. Sedangkan jumlah pendidik WNA maksimal 70% dari keseluruhan jumlah pendidik pada satuan pendidikan.
Pendidik pada SPK pun diutamakan yang memahami budaya Indonesia dan atau budaya daerah tempat satuan pendidikan berada. Setidaknya ini dapat menjamin bahwa budaya yang dikembangkan di SPK adalah budaya nusantara yang kaya dengan nilai-nilai luhur bangsa, bukan budaya asing yang liberal dan materialistis. Dari sisi pendidik WNA, mereka diharapkan mampu berbahasa Indonesia.
Pada tenaga kependidikan, komposisi WNI minimal 80% dari keseluruhan jumlah tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang bersangkutan. Sebaliknya, jumlah tenaga kependidikan WNA maksimal 20% dari jumlah tenaga kependidikan di satuan pendidikan yang bersangkutan. Tenaga kependidikan WNI pun memiliki kesempatan yang sama dengan WNA untuk menjabat sebagai pimpinan satuan pendidikan atau kepala sekolah.
Ihwal penerapan kurikulum, kendati memakai kurikulum nasional yang dapat dipadukan dengan kurikulum asing yang terakreditasi, SPK wajib memberikan mata pelajaran Pendidikan Agama, PPKn, dan Bahasa Indonesia kepada siswa WNI. Sementara siswa WNA wajib diajarkan Bahasa Indonesia dan Budaya Indonesia. Hal ini bertujuan untuk membentuk karakter siswa dan mengokohkan kecintaan kepada bangsa.
Kebijakan Pemerintah terkait SPK merupakan langkah maju bagi penanaman nilai-nilai kebangsaan di dunia pendidikan. Sebab dari ruang kelaslah pencetakan generasi dan peradaban dimulai. Tak hanya siswa, pendidik dan tenaga kependidikan pun dipacu untuk mengenal dan mencintai Negeri Zamrud Khatulistiwa ini.
Namun, kembali, pengawasan terhadap keberlangsungan SPK agar sesuai dengan aturan yang berlaku tak hanya berada di tangan Pemerintah. Partisipasi masyarakat juga diharapkan. Kemendikbud terbuka untuk menerima pengaduan masyarakat jika terdapat indikasi pelanggaran atau penyimpangan di lapangan. Pengaduan dapat diajukan melalui surat, telepon, dan surat elektronik (e-mail) kepada: Bagian Hukum dan Kepegawaian, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kompleks Kemendikbud, Gedung E Lantai 14, Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, 10270. Telepon: (021) 5725612. E-mail: kerjasamadikdas@kemdikbud.go.id.* (Ditjen Dikdas)