KOMPAS.com - Akhirnya, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan, ujian nasional tidak lagi sebagai penentu kelulusan, melainkan digunakan sebatas sebagai pemetaan. Ujian nasional yang semula dipandang menyeramkan oleh peserta didik dan guru pun berubah wujud.
Di dunia pendidikan, perubahan konsep dan fungsi ujian nasional (UN)—meskipun nama UN tetap digunakan—yang diumumkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan beberapa waktu lalu merupakan keputusan besar di bidang pendidikan. Boleh jadi, banyak orang berpikir, ”yang namanya bersekolah tentu ada ujian”. Lebih lanjut, ujian tentu diperlukan untuk mengevaluasi perkembangan hasil belajar peserta didik.
Namun, ketika ujian nasional memiliki hak terlalu istimewa layaknya hak ”veto” dalam menentukan kelulusan peserta didik, hal itu menuai kontroversi. Apalagi, ketika ujian nasional diterapkan secara massal, seragam, dan terstandar di tengah keragaman Indonesia, termasuk dalam soal fasilitas dan ketersediaan sumber daya manusia pendidikan.
Dunia dengan masyarakat yang kian modern memang mencintai segala jenis standar yang berciri, antara lain dapat diukur, seragam, dan diterima lintas tempat dan waktu. Peningkatan standar kerap menjadi indikator kemajuan, termasuk ujian nasional yang bagi pemerintah dapat menjadi tolok ukur kemajuan pendidikan Indonesia.
Tidak adil
Akan tetapi, para pendidik tidak lantas mengamini hal itu. Standardisasi pada akhirnya memunculkan persoalan dan menimbulkan masalah ketidakadilan baru. Daerah yang tertinggal dalam infrastruktur dan sumber daya manusia harus melewati palang standar nasional dan mereka yang paling berisiko terpental keluar dari ”arena pertandingan”.
Selain itu, muncul moral hazard di kalangan pendidik dan murid. Ujian nasional seolah-olah menjadi kunci untuk menentukan kemajuan dan akses seseorang untuk menempuh pendidikan lebih tinggi karena perannya sangat penting dalam menentukan kelulusan.
Selasa, 6 Januari 2015 | 20:14 WIB
Repro: kompas.com