[caption id="attachment_5244" align="aligncenter" width="300"] Didik Suhardi, Ph.D (kiri) dan Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc.[/caption]
Jakarta (Dikdas): Untuk memenuhi kebutuhan akan hadirnya pendidikan bermutu dan terintegrasi di wilayah perbatasan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan rencananya akan membangun Sekolah Indonesia Terpadu di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Di lahan yang sudah tersedia akan dibangun gedung SMP, SMA, dan SMK. Jika berjalan lancar, diharapkan pembangunannya dimulai tahun ini dan selesai pada 2015.
“Nanti kita rapatkan, kalau diintegrasikan luasnya berapa, bentuk gedung bagaimana, pengelolaan dan kelembagaannya bagaimana, termasuk pendanaannya,” ucap Didik Suhardi, Ph.D., Direktur Pembinaan SMP, pada Rapat Koordinasi yang digelar di ruang sidang Gedung E lantai 5, Kompleks Kemdikbud, Senayan, Jakarta, Rabu, 8 Oktober 2014.
Sekolah terpadu itu juga mencakup asrama siswa, rumah guru, dan fasilitas penunjang lainnya. Maka, lanjut Didik, perlu dipikirkan pula pembinaan terhadap peserta didik. “Sekolah berasrama artinya pendidikan 24 jam bagi siswa,” ujarnya. Pengadaan konsumsi juga perlu dicermati terkait penyediaan bahan makanan dan tenaga logistik.
Menurut Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc., Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI untuk Kerajaan Malaysia, pembukaan Sekolah Indonesia Terpadu di Pulau Sebatik merupakan wujud solusi jangka panjang. Pemerintah Indonesia, tegasnya, tak bisa terus menerus mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau Community Learning Center (CLC) di ladang-ladang kelapa sawit di wilayah Sabah dan Serawak. “Berapa guru yang akan kita datangkan lagi?” katanya.
Pulau Sebatik merupakan kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia yang sangat strategis. Daratan pulau ini terbelah dalam wilayah Indonesia dan Malaysia. Akses melalui jalur laut pun terbilang mudah.
Dengan adanya sekolah terpadu, siswa-siswi yang telah lulus SD dan SMP di CLC dipindahkan secara berangsur-angsur ke sekolah tersebut. Upaya itu tak akan menemui banyak kendala lantaran waktu perjalanan dari jarak terdekat Pulau Sebatik dengan Kota Tawau, Sabah, hanya 15 menit dengan perahu cepat.
Selain pengurusan visa yang sulit, Ari menilai banyak sekali devisa negara yang terbuang jika warga negara Indonesia masih terus melakukan aktivitas di wilayah Malaysia. “Mending membangun di wilayah sendiri,” tegasnya. Ke depan, tambah Ari, sekolah terpadu akan menjadi penghubung (hub) pendidikan anak-anak TKI di Tawau dan kawasan lainnya di Sabah.
Pendidikan yang diupayakan pemerintah RI, lanjut Didik, tak hanya bertujuan memberikan hak mengenyam pendidikan kepada anak-anak Indonesia. “Kita ingin anak-anak kembali membangun Indonesia, bukan menjadi warga negara Malaysia,” katanya.* (Billy Antoro)