[caption id="attachment_5629" align="aligncenter" width="300"] Taufiq Ismail[/caption]
Bogor (Dikdas): Di dunia pendidikan, Indonesia punya masalah panjang terkait kegiatan membaca dan menulis. Negeri ini tertinggal 60 tahun, diukur ketika kurikulum dan pengajaran bahasa dan sastra mulai diterapkan di sekolah justru setelah Indonesia merdeka.
Kondisi demikian, menurut sastrawan Taufiq Ismail, membentuk tradisi tidak menguntungkan di kalangan siswa, guru, dan orang tua. Minat membaca apalagi menulis di kalangan tersebut rendah.
“Kami harapkan kegiatan ini terus-menerus dilakukan agar tradisi membaca dan menulis di sekolah-sekolah kita, mulai dari tingkat paling bawah, tertanam dengan kukuh,” kata Taufiq dalam sambutannya pada pembukaan Workshop (Penjurian Final) Lomba Menulis Cerita Tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah di Hotel Rizen Premiere, Bogor, Jawa Barat, Senin malam, 10 November 2014.
Lomba menulis seperti LMC, lanjutnya, dapat meningkatkan cakrawala berpikir siswa. Sebab aktivitas menulis sangat terkait dengan membaca. Akan sangat baik jika kedua kegiatan itu dilakukan oleh anak-anak dalam usia yang sangat muda.
Taufiq juga memuji kemampuan para peserta. Proses menjadi peserta Workshop LMC, katanya, tidak mudah. Mereka harus bersaing dengan ribuan siswa se-Indonesia.
Ia pun berpesan agar peserta, usai acara, terus menulis, banyak membaca buku, dan tak henti berkarya. Ia menganjurkan mereka untuk membeli buku harian 2015. Di buku itu, siswa cukup menulis satu halaman tiap hari. “Tuliskan dua hal. Satu, pengalaman hari itu. Kedua, perasaan hari itu,” jelasnya.* (Billy Antoro)