[caption id="attachment_11304" align="aligncenter" width="300"] Maman S. Mahayana[/caption]
Manado (Dikdasmen): Kritikus sastra itu gelisah. Ia telah membaca karya dan menyimak pembacaan cerita pendek (cerpen) siswa-siswi SMK peserta lomba Cipta dan Baca Cerpen Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N). Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. “Ada persoalan-persoalan dasar yang sebetulnya tidak perlu terjadi,” katanya di sela rehat penjurian di SMK Negeri 1 Manado, Sulawesi Utara, Rabu siang, 31 Agustus 2016.
Maman S. Mahayana, kritikus sastra itu, menilai sebagian peserta membuat cerpen berdasarkan apa yang dibayangkan di benak kepala. Akhirnya banyak sekali konflik dan alur cerita yang dipaksakan hadir mengisi cerita. Banyak persoalan bertentangan dengan fakta cerita. Logika pun terlupa.
Bagaimanapun, semua peserta lomba adalah orang-orang terbaik di provinsinya. Namun sayang, dari hasil pengamatannya, pemahaman siswa terhadap cerpen sangat kurang. Hal itu tak lepas dari pengaruh guru pembimbing yang memberi arahan kepada anak didiknya.Namun, di atas semua itu, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini melihat para peserta tampak serius dan bersungguh-sunggguh menulis cerpen. Pembacaan cerpen di atas panggung pun kelihatan maksimal. “Dari sudut itu semangat mereka luar biasa dan itu harus diapresiasi,” ujar Maman.
Sekembali ke daerah masing-masing, Maman berharap interaksi antarpeserta terus berlanjut. Mereka bisa menggunakan media sosial sebagai sarana berkomunikasi dan berbagi informasi. Selain itu, mereka juga dapat terus menghubungi para juri dan meminta komentar atas karya yang dibuat.
Ia juga berharap guru pembimbing terus melakukan pembinaan kepada siswa-siswi berbakatnya. “Mereka harus menyiapkan event lain baik lokal maupun nasional. Perlu frekuensi latihan terus menerus,” katanya.
Maka sanggar harus dihidupkan. Undang penyair dan cerpenis untuk berbagi ilmu. Siswa harus diberikan pengalaman baru agar kreativitasnya berkembang.
Di masa mendatang, lanjut Maman, kegiatan menulis akan menjadi profesi menjanjikan. Semua orang boleh menjadi dokter, tentara, atau pejabat, namun dokter yang menulis, tentara yang menulis, dan pejabat yang menulis.
Pandangan terhadap pilihan profesi di bidang seni dan budaya juga seharusnya mengalami perubahan. Kini masih banyak guru dan orang tua memandang segala sesuatu yang bersifat sains adalah hebat. Lebih hebat daripada orang-orang yang memilih menjadi seniman atau budayawan.
Kelak, pandangan itu akan berubah. Seniman dan budayawan akan berada di posisi sejajar dengan dokter, arsitek, bahkan pejabat. Usaha itu dimulai dari sekarang, di sini, hari ini, saat ini.* (Billy Antoro)