Kurangnya infrastruktur yang memadai, tidak menyurutkan semangat anak-anak jenjang sekolah dasar di wilayah Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, untuk tetap menempuh pendidikan, meskipun mereka harus menyeberangi laut kecil aliran dari Sungai Citarum menuju sekolah.
Minimnya jembatan penyeberangan serta terpisahnya beberapa desa oleh aliran Sungai Citarum tersebut, menjadikan perahu sebagai satu-satunya moda transportasi yang mayoritas dipilih oleh masyarakat Muara Gembong, sebagai transportasi antar-jemput anak sekolah SDN Pantai Bahagia 02, Muara Gembong.
Perahu tersebut diberi nama “Anugerah” yang mampu menampung sebanyak 120 orang. Setiap hari Perahu “Anugerah beroperasi antar jemput dimulai dari tempat tinggal siswa yang terletak dekat dengan muara Sungai Citarum hingga warga di sekitar Muara Gembong.
Keberadaan perahu Anugerah tidak bisa dilepaskan dari sosok Abdul Muin Kepala Sekolah SDN O2 Pantai Bahagia. Muin merupakan salah seorang yang berjasa terhadap kelahiran perahu Anugerah pada tahun 2010. Muin, bersinergi dengan komite dan masyarakat menaruh perhatian terhadap sarana transportasi untuk siswa SDN Pantai Bahagia 02.
Saat tim liputan Ditjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen menemuinya, Abdul Muin bercerita jika perahu “Anugerah” adalah perahu generasi kedua, atas inisiasi dirinya ketika ia menjadi kepala sekolah pada tahun 2010.
Abdul Muin menyampaikan jika kapal pertama transportasi untuk antar jemput siswa SDN Pantai Bahagia 2 tersebut, adalah hibah dari pengusaha angkutan, sekitar tahun 1997. Lalu belum lama dipakai, perahu itu pun ditabrak ombak, pecah dan tidak diperbolehkan dipakai lagi (menurut kepercayaan mereka).
“Itu pantangan buat mereka kalau perahu sudah sekali nabrak nggak boleh diperbaiki dan digunakan lagi, walaupun masih bisa diperbaiki. Akhirnya dari situ dibiarkan. Selang beberapa lama komite pun meminta agar perahu tersebut dioperasikan lagi, dan akhirnya berjalan sekitar 10 tahunan,” kata Abdul Muin menceritakan awal mula transportasi antar jemput siswa SD tersebut.
Kepala Sekolah SDN Pantai Bahagia 02 tersebut juga bercerita, untuk membuat Perahu “Anugerah” ia dan timnya harus merogoh kocek minimal 150. Uang tersebut mereka kumpulkan dari hasil dana sosial serta kerjasama dengan koperasi.
“Bahan pembuatannya ada yang kita ambil dari generasi pertama. Selain itu kita juga membeli bahan kapal second dengan harga 60 juta. Uangnya kita meminjam dari koperasi dan juga memanfaatkan dana sosial,” tuturnya.
Ia melanjutkan, lahirnya perahu “Anugerah” tidak hanya berasal dari rasa empati orang-orang yang berada di lingkungan SDN Pantai Bahagia 02. Namun juga datang dari masyarakat Muara Gembong yang memiliki kepedulian tinggi akan pentingnya sarana transportasi bagi siswa.
Untuk memenuhi kebutuhan operasional perahu, setiap siswa harus membayar biaya sebesar 4 ribu rupiah untuk perjalanan pulang pergi. Muin mengatakan, jika terdapat biaya lebih akan digunakan untuk perawatan perahu dan memenuhi kebutuhan sekolah.
Abdul Muin mengaku ada yang sempat heran, karena di penyangga ibu kota masih ada wilayah yang menggunakan perahu sebagai alat transportasi untuk pergi ke sekolah, karena infrastruktur yang tidak memadai.
Sebelum ada perahu, orang tua murid yang mengantarkan anak-anaknya. Ada yang berjalan kaki, dan ada yang mengantarkannya pakai perahu jika mereka seorang nelayan. Namun karena mengantarkan anak-anaknya mengganggu waktu pekerjaan mereka yang harusnya pergi ke laut lebih awal, para orangtua ini pun berdiskusi sampai munculah ide, membuat transportasi umum untuk antar jemput anak-anak sekolah.
“Saya tinggal di sini dari tahun 1987. Penuh perjuangan untuk mengantarkan anak-anak sekolah sebelum ada perahu antar jemput ini. Dulu sebelum perahu ada yang jalan kaki, yang punya perahu diantar perahu pas lagi ngga jalan ke laut. Mereka diantar sampai ke jalan yang tidak terputus oleh sungai, terus jalan kaki menuju sekolah. Dulu rumput sama saya tinggian rumput di sepanjang sungai, selain itu masih banyak binatang buas seperti babi, monyet, dan ular,” kata Abdul Muin.
Ia juga bercerita meskipun letak geografis sekolah tempat ia mengabdi posisinya ada di bawah, namun tanggul jarang terendam meskipun banjir melanda. Mengabdi di sekolah dengan transportasi seadanya memiliki kisah suka dan dukanya lanjut Muin. Disisi lain ia merasa senang karena lingkungannya yang asri, tapi disisi lain juga banyak kendala yang dialami khususnya terkait fasilitas.
“banyak mahasiswa yang sering berkunjung ke sini, mereka merasa senang apalagi kan di sini ada penanganan mangrove di tempat yang kena abrasi jadi ada kegiatan rutinitas,” imbuhnya.
Abdul Muin juga menyampaikan angkutan umum perahu ini menjadi vital, karena menjadi satu-satunya transportasi yang memudahkan anak-anak pergi ke sekolah. Sejauh ini biaya operasional masih terpenuhi hasil dari ongkos anak-anak. Untuk biaya operasionalnya sendiri Abdul Muin menyampaikan satu hari butuh sekitar 300 sampai 400 ribu.
“Saya sudah mengajar jadi guru di sini sejak 1987. Tahun 2010 menjadi kepala sekolah. semenjak itu terus nggak pindah-pindah. Sempet pindah, tapi orang-orang pada minta balik lagi. Ketika saya kemarin mau dimutasi, orang tua pada tanda tangan dan menghadap ke dinas. karena mungkin ini (perahu anugrah). kalau diganti khawatir kepala sekolah yang baru belum tentu mau menyediakan angkutan. Sekarang sudah mulai saya geser, komite mesti pegang (pengurusan kapal). Komitenya hebat, rela berkorban bahkan kita kasih penghargaan juga,” pungkasnya. *(Kumi Laila).