Jakarta (Dikdas): Salah satu nomor lomba pencak silat yang dipertandingkan dalam Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) adalah Jurus Tunggal Baku. Jurus ini terdiri dari 100 gerakan yang terbagi dalam 14 jurus. Jurus 1-6 menggunakan tangan kosong. Jurus 7-9 menggunakan golok. Jurus 10-14 menggunakan toya. Setiap atlet harus memperagakannya dalam waktu tiga menit.
Dalam sejarahnya, Jurus Tunggal Baku disusun oleh tim yang terdiri dari pakar pencak silat dari empat negara pendiri Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (Persilat) yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Kongres Persilat yang digelar pada akhir September 1998 menetapkan bahwa Jurus Tunggal Baku merupakan salah satu kategori yang dipertandingkan dalam pencak silat. Tak ada yang boleh mengubahnya kecuali oleh Persilat sendiri.
Nilai apa yang bisa ditarik dari Jurus Tunggal Baku? Mari kita mulai membahasnya dari aspek kelahirannya. Sebagai ketetapan baku, jurus yang ada berupaya mengadopsi berbagai jurus pencak silat yang berkembang di negara- negara kawasan Asia Tenggara. Ini dapat dimaknai bahwa pencak silat merupakan sarana pemersatu bangsa. Keragaman gerak sebagai produk budaya disatukan secara harmonis dengan mempertimbangkan aspek keindahan secara estetika, pandangan hidup yang filosofis, dan olah tubuh yang mengukuhkan unsur kekuatan.
Rangkaian gerak yang mengandung berbagai unsur tersebut ditampilkan secara terukur. Diulang terus- menerus hingga memunculkan ruang dialog imajiner antara juri dan penonton di satu sisi dengan penyaji di sisi lain. Jadi, hakikatnya, berbagai gerak Jurus Tunggal Baku tak sekadar sebentuk tontonan monoton yang bertujuan mencari nilai kebenaran gerakan. Lebih dari itu, ada ruang dialektika yang dihadirkan ke dalam benak dan jiwa orang-orang yang menikmatinya.
Bukankah dalam setiap gerak jurus, aspek yang dinilai tak hanya ketepatan dan kebenaran gerak? Ada aspek lain yang dinilai dan memberi ruh bagi tiap pergerakan: penghayatan, ekspresi, dan kekuatan.
Penghayatan terkait dengan kesadaran dalam berbagai situasi. Pola pergerakan Jurus Tunggal Baku mencerminkan beragam situasi yang memerlukan pemahaman tertentu. Dengan menghayati, gerakan pesilat tampak lebih mantap karena pikiran dan tubuhnya menyatu dalam menyikapi berbagai perubahan suasana.
“Yang paling dipentingkan nilai dari karakter, seakan-akan atlet ada lawan, menyerang dan diserang, bagaimana menghayatinya,” kata Doney Soefyan, pelatih pencak silat dari Nusa Tenggara Timur, Rabu (18/6).
Penghayatan membawa seseorang untuk serius menyikapi suatu persoalan. Keputusan yang diambil dilandasi pemahaman dan akar yang kuat. Dengan begitu ia akan sulit ditumbangkan karena sikap dan tindakannya didasari argumen yang kuat.
Ekspresi muncul dari hasil penghayatan terhadap perubahan suasana. Senang, sedih, dan gelisah merupakan aspek manusiawi yang tak pernah konstan: ia akan selalu mengalami pergantian. Wujudnya tampak jelas pada gurat wajah seseorang.
Ketika dalam suasana senang, maka senyum sikap yang paling tepat untuk dilakukan. Saat dirundung sedih, kening mengerut dan wajah muram. Gelisah mendorong seseorang untuk bergerak mencari suatu pelampiasan yang membuat hati kembali tenang.
Hati memengaruhi gerak tubuh. Rasa yang terpendam dalam bilik kalbu menyalurkan energi besar ke sekujur tubuh. Setiap gerakan akan tampak berisi dan bertenaga. Maka hendaknya tiap-tiap pukulan, tendangan, sabetan, dan entakan dilandasi kekuatan penuh. Siapa saja yang tersentuh akan terluka.
Seperti kata Doney, perpaduan unsur-unsur pencak silat membentuk karakter kuat dalam diri seseorang. Itulah yang mestinya dilatihkan guru kepada murid-muridnya, yang mesti ditanamkan guru kepada para penuntut ilmu; disiplin, kerja keras, dan tanggung jawab.
Akhirnya pencak silat, juga olahraga lainnya, tak hanya terkait olah fisik.
“Olahraga di dalamnya ada unsur seni, estetika, dan logika,” ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Mohammad Nuh, DEA saat membuka O2SN Ahad malam (15/6) lalu.* (Billy Antoro)