Oleh: Toni Toharudin, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek; Guru Besar Universitas Padjadjaran
Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada dukungan semua pihak. Pemerintah perlu menjaga transparansi dalam pelaksanaan dan pelaporan hasil TKA.
Pendidikan yang bermutu tidak hanya ditentukan oleh proses pembelajaran di ruang kelas, tetapi juga oleh kemampuan sistem pendidikan kita dalam mengevaluasi dan menjamin kualitas capaian belajar murid secara konsisten dan adil.
Pembelajaran di ruang kelas adalah separuh cerita, separuh lain soal bagaimana hasil belajar diukur dan dibandingkan secara konsisten.
Dalam lanskap yang kian menuntut akuntabilitas dan kesetaraan akses, rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti untuk memperkenalkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) bagi murid di kelas akhir SD, SMP, dan SMA-SMK atau yang sederajat menjadi langkah penting yang layak mendapat perhatian serius.
TKA bukan sekadar alat ukur, tetapi bagian dari upaya untuk membangun kepercayaan terhadap sistem evaluasi capaian belajar yang selama ini terasa timpang antarsekolah.
TKA juga bukan reinkarnasi Ujian Nasional yang pernah menjadi hakim tunggal kelulusan murid. Ia tidak datang membawa palu, tidak pula menggeser guru dari kursi penilai.
Sebaliknya, TKA bersifat opsional, sebagai layanan yang disediakan pemerintah untuk mendukung guru, sekolah, dan lembaga pendidikan lainnya yang ingin memperoleh informasi tentang capaian belajar individu murid secara lebih terstandar. TKA pelengkap sekaligus penguat sistem penilaian yang sudah ada, bukan menggantikannya.
Empat tahun terakhir, sistem pendidikan kita berjalan dengan dua jenis evaluasi: Asesmen Nasional untuk memotret kinerja sistem secara makro, dan penilaian harian oleh guru untuk mengevaluasi capaian belajar secara mikro.
Keduanya berjalan berdampingan, masing-masing dengan fungsi dan ruangnya sendiri. TKA tak hadir untuk menyingkirkan yang lama, tetapi melengkapi. Asesmen Nasional tetap dibutuhkan sebagai tolok ukur sistem tanpa membebani murid, sementara kedaulatan guru dalam menilai dan menentukan kelulusan tetap jadi pijakan utama dalam praktik pendidikan di sekolah.
Penguatan Mutu Ujian Sekolah
Selama ini, seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baik antarsekolah maupun ke perguruan tinggi, umumnya mengandalkan nilai rapor sekolah. Padahal, nilai rapor sekolah kerap kali tidak dapat dibandingkan secara adil antarsatuan pendidikan.
Tidak adanya penilaian individu yang terstandar secara nasional membuat nilai 90 di satu sekolah bisa sangat berbeda maknanya dengan nilai serupa di sekolah lain. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi institusi pendidikan lanjutan, termasuk perguruan tinggi, dalam melakukan pemeringkatan dan seleksi secara obyektif.
TKA hadir menjawab tantangan ini. Dengan instrumen tes yang dikembangkan secara nasional, hasil TKA memberikan gambaran yang lebih terstandar tentang kemampuan akademik siswa.
Ini akan menjadi referensi tambahan yang kredibel dalam seleksi berbasis prestasi akademik, baik untuk SPMB (Seleksi Penerimaan Murid Baru) maupun seleksi masuk perguruan tinggi. Harapannya, seleksi ke jenjang pendidikan berikutnya jadi lebih adil dan akuntabel, tanpa bergantung sepenuhnya pada nilai rapor yang tak seragam.
Lebih dari sekadar alat seleksi, TKA juga berpotensi jadi katalis penguatan kualitas ujian sekolah. Karena TKA tak menentukan kelulusan, guru dan sekolah tetap memiliki peran utama dalam menilai murid melalui ujian sekolah.
Namun, kehadiran TKA yang hasilnya dapat dibandingkan antarindividu dan antarsekolah dapat menjadi cermin obyektif bagi sekolah dalam mengevaluasi kualitas ujian dan pembelajarannya.
Sekolah yang memiliki integritas tinggi dalam pelaksanaan ujian sekolah akan cenderung memiliki korelasi hasil yang tinggi dengan capaian TKA muridnya.
Sebaliknya, apabila terdapat kesenjangan besar antara nilai ujian sekolah dan hasil TKA, hal ini bisa menjadi alarm bagi sekolah untuk meninjau kembali proses evaluasi dan pembelajarannya. Dengan kata lain, TKA dapat berfungsi sebagai instrumen pengendalian mutu yang mendorong perbaikan berkelanjutan di tingkat satuan pendidikan.
Aspek positif lain dari kebijakan TKA adalah pendekatan kolaboratifnya. Pada tingkat SMA/SMK, seluruh soal akan disusun oleh kementerian. Namun, untuk jenjang SD dan SMP, pemerintah pusat akan berbagi dan berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam pengembangan soal.
Ini bukan semata-mata tentang teknis pembuatan soal ujian, melainkan juga upaya untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam menyelenggarakan evaluasi pendidikan yang bermutu.
Kolaborasi ini juga penting sebagai bentuk ownership bersama atas suatu kebijakan. Dalam era desentralisasi ini, peran pusat yang terlalu dominan dalam suatu program sering kali menimbulkan tantangan dalam implementasinya di daerah. Ini karena pemerintah daerah merasa bukan program mereka.
Dengan melibatkan pemerintah daerah dalam penyusunan instrumen tes, diharapkan akan tumbuh rasa memiliki yang lebih kuat terhadap kebijakan ini.
Pada saat yang sama, proses ini juga akan memperkaya perspektif pusat terhadap konteks lokal sehingga instrumen TKA yang dihasilkan dapat lebih inklusif dan kontekstual. Kebijakan tidak lagi terasa seperti titah dari atas, tetapi menjadi karya bersama.
Menyikapi kekhawatiran
Tentu saja, setiap kebijakan pendidikan yang bersentuhan langsung dengan murid dan sekolah menuntut kehati-hatian dalam pelaksanaannya. Berbagai kekhawatiran yang timbul di masyarakat juga perlu diperhatikan. Salah satunya soal potensi TKA menjadi beban tambahan bagi murid atau menjelma menjadi "Ujian Nasional" gaya baru.
Di sinilah pentingnya komunikasi publik yang jernih. Penjelasan bahwa TKA tidak bersifat wajib dan tidak menentukan kelulusan perlu secara konsisten dikomunikasikan. TKA adalah alat bantu yang justru memberi keuntungan kepada murid dan lembaga pendidikan.
Untuk menghindari tekanan berlebih terhadap murid, integrasi hasil TKA dalam proses seleksi pun sebaiknya bersifat proporsional, menjadi salah satu komponen pertimbangan di antara komponen lainnya, termasuk rapor sekolah.
Kekhawatiran lain adalah potensi kesenjangan. Murid dari sekolah-sekolah atau keluarga dengan sumber daya memadai akan lebih siap menghadapi TKA dibanding mereka yang kekurangan.
Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk menyiapkan sistem dukungan yang memadai, termasuk penyediaan contoh soal yang dapat diakses secara bebas. Dengan begitu, TKA benar-benar menjadi instrumen yang mendukung keadilan pendidikan, bukan memperlebar jurang ketimpangan.
Kehadiran TKA menandai upaya serius pemerintah untuk menyempurnakan evaluasi capaian belajar individu yang selama ini terlalu beragam dan sulit dibandingkan. Di tengah kebutuhan akan sistem seleksi yang lebih adil dan berbasis data, TKA menawarkan jalan tengah antara penilaian sekolah yang kontekstual dan kebutuhan akan tolok ukur nasional yang obyektif.
Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada dukungan semua pihak. Pemerintah perlu menjaga transparansi dalam pelaksanaan dan pelaporan hasil TKA.
Sekolah dan guru perlu melihat kebijakan ini sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas dan kapasitasnya, bukan sebagai ancaman.
Masyarakat pun perlu memahami bahwa standardisasi bukan berarti penyeragaman, melainkan upaya untuk memastikan setiap anak mendapatkan peluang yang adil untuk berkembang dan melanjutkan pendidikannya.
Dengan semangat gotong-royong dan komitmen pada mutu serta keadilan, Tes Kemampuan Akademik dapat menjadi batu pijakan penting menuju sistem pendidikan yang lebih berkualitas, inklusif, dan berpihak pada masa depan anak-anak Indonesia.*
. . .
Sumber: Harian Kompas, Kamis, 12 Juni 2025