Sumpah Bumi Pertiwi

By: Agt 26, 2015

[caption id="attachment_8754" align="aligncenter" width="300"] Yus Aristono, pendamping Tim Teater SMK Yogyakarta[/caption]

Palembang (Didaksmen): Pepatah "Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Ditohi Pati" yang  secara harfiah bermakna “satu sentuhan kening, satu jari luas-nya bumi bertaruh nyawa", menunjukkan bahwa masalah yang paling prinsip dalam kehidupan orang Jawa adalah "kehormatan" dan "tanah" yang akan dibela mati-matian sampai titik darah penghabisan. Makna pepatah Jawa ini, menurut Yus Aristono, pendamping Tim Teater SMK Yogyakarta, ingin disampaikan kepada publik.

Aristono mengatakan, Tim Teater SMK Yogyakarta yang akan mengikuti Lomba Teater tingkat SMK pada Festival dan Lomba Seni Siswa Nasiona (FLS2N) di Kota Palembang, akan menampikan kisah perjuangan Pangeran Diponegoro. Isi ceritanya akan diperankan oleh 7 orang anak didiknya.

Adapun kisah yang diberi judul “Sumpah Bumi Pertiwi” itu mengkisahkan tentang beberapa laskar Pangeran Diponegoro yang tergiur dengan janji-janji kompeni. Tapi karena mereka sudah terikat janji, akhirnya perjuangan Diponegoro tetap diutamakan.

“Sumpah janji para laskar Pangeran Diponegoro tersebut termuat dalam naskah kami berjudul Sumpah Bumi Pertiwi,” ujar Aristono, di Palembang Sport Convention Center (PSCC), Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Senin, 24 Agustus 2015.

Aristono menambahkan, ia dan tim teaternya ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat bawa saat ini masih banyak generasi muda yang mulai luntur rasa nasionalismenya. Karena itu, ia dan tim teaternya ingin menggugah generasi muda agar memiliki rasa nasionalime yang kuat, supaya kecintaan terhadap NKRI itu kembali terbina dan utuh.

Tentang kualitas personel tim teater yang ia dampingi, Aristono mengatakan bahwa mereka terpilih dari  sekian banyak siswa siswi di Yogyakarta.

“Mulanya, kita adakan audisi kemudian mereka yang terpilih dan kita ambil untuk ikut ajang di tingkat nasional. Dan saya merasa optimis, karena sebelum tampil kita telah berikan motivasi dan arahan semaksimal mungkin, supaya mereka lebih percaya diri di dalam  memerankan perannya masing-masing sehingga dapat menampilkan pertunjukan teater bisa tampil yang tebaik,” tegasnya.

Sekilas Tentang "Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Ditohi Pati"   Menurut Budayawan asal Jawa Timur, Agus Sunyoto,  dalam artikelnya yang berjudul “Sadumuk Batuk Sanyari Bumi Ditohi Pati - Amuk, Carok, Siri,” kata 'sadumuk bathuk' yang memiliki makna harfiah “satu sentuhan pada dahi”, yang bermakna menyentuh kehormatan akan berakibat fatal dalam bentuk kesediaan untuk merelakan nyawa demi menebus kehormatan yang tersentuh. Sedang kata 'sanyari bumi' yang memiliki makna harfiah “satu jari pun luas tanah” yang berkurang,  akan dibayar  dengan nyawa.

Dengan pepatah 'sadumuk batuk', orang Jawa memaknai sebagai suatu penghinaan berat. Maksudnya, jika orang Jawa keningnya ditunjuk-tunjuk dengan jari yang memiliki makna simbolik sebuah penghinaan berat karena dianggap sebagai orang yang  tidak bisa berpikir, akan menimbulkan masalah berat berupa pembunuhan. Orang Jawa yang memegang nilai rila (ridla), narima (qana'ah), temen (amanah),  sabar, dan ngalah (tawakkal), sering mendadak hilang kendali jika kehormatannya sudah dihina. Di masa lalu, orang Jawa yang sudah terhina kehormatannya, akan melakukan amuk. Antonio Pigafeta, pelaut Italia yang datang ke Jawa pada 1522 Masehi, menyaksikan bagaimana orang Jawa melakukan 'amuk' dikeroyok beramai-ramai sampai mati. Penghinaan yang dilakukan Kenpetai selama pendudukan Dai Nippon - yang penuh penghinaan dan kekejaman - meledak dalam amuk massa di Surabaya tanggal 11-13 September 1945 dalam bentuk  penyerangan, penangkapan, penyembelihan Kenpetai dan  bahkan meminum darah mereka.

Dalam artikel yang dimuat laman beralamat http://pesantrenbudaya.com/?id=109 tersebut, Agus Sunyoto juga mengutip pepatah orang Madura dan Bugis. Menurutnya, orang-orang Madura memiliki prinsip yang sama yang diungkapkan dalam pepatah berbunyi “tembang poteh mata angu'an poteh tolang” yang bermakna harfiah 'daripada putih mata lebih baik putih tulang' yang memiliki makna esensial “daripada malu lebih baik mati". Dari prinsip yang termaktub dalam pepatah ini, orang Madura memiliki tradisi Carok, yaitu tradisi untuk berkelahi sampai mati dalam rangka menebus harga diri dan kehormatan.

Sementara orang Bugis dan Makassar justru hidupnya tegak di atas nilai-nilai kehormatan dan harga diri yang disebut Siri, semacam rasa malu karena terhina. Kepatuhan orang Bugis dan Makassar terhadap adat-istiadat mereka, lebih disebabkan karena adat-istiadat mereka memiliki fungsi fundamental melindungi Siri mereka. Hubungan adat dengan siri, terungkap dalam pepatah: Uttetong ri-ade'e, najagainnami siri'ku - Aku taat kepada adat, karena dijaganya siri-ku. Dari prinsip yang terpateri pada pepatah ini, orang Bugis Makassar memiliki tradisi berkelahi dalam satu sarung dengan saling tikam dengan badik satu sama lain sampai salah seorang tewas atau kedua-duanya mati bersama.*

Tata Sumitra

Share:
No Comments
Berikan komentar
Unduh FileSE Mendikbud Nomor 1 Tahun 2021
UNDUH SEKARANG
logo

DIREKTORAT JENDERAL

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, PENDIDIKAN DASAR DAN PENDIDIKAN MENENGAH

Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021 menjelaskan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, diantaranya adalah merumuskan kebijakan peserta didik, sarana prasarana, dan tata kelola di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan khusus, pendidikan keaksaraan, dan pendidikan kesetaraan.
KONTAK KAMI
KANTOR PUSATKompleks Kemdikbud Gedung E Lantai 5 Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta 10270
021-5725610
021-5725610
pauddikdasmen@kemdikbud.go.id
Senin - Jumat 08.00 - 16.00 WIB
Copyright © 2020 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi All rights reserved.